Minggu, April 03, 2011

Kematian Whistleblower

Partai.mestimoco.com -
Kamis, 31 Maret 2011 - 10:13 wib
Korupsi (Ilustrasi)
Di Indonesia, seorang whistleblower mungkin sudah "mati" sejak ia memutuskan menjadi whistleblower. Ungkapan di atas tak berlebihan jika melihat vonis penjara tiga tahun enam bulan untuk mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji dan apa yang dialami sejumlah “pemukul kentongan” akhir-akhir ini.

Dengan mudah kita bisa menyusun daftar panjang para whistleblower kesepian itu. Dulu, Endin Wahyudin mencoba membongkar suap terhadap Hakim Agung, justru dijerat pidana pencemaran nama baik. Sementara kasus inti (suap) dikabarkan berakhir dengan vonis bebas. Kemudian ada Vincentius Amin Sutanto yang pernah menjadi mantan financial controller di AAG mencoba membongkar dugaan skandal pajak Rp1,3 triliun di perusahaannya. Namun,ia justru divonis 11 tahun karena dituduh membobol dana milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd di Singapura.

Sedangkan kasus induk yang hendak dibuka masih terkendala sejak 2007. Untuk kasus Susno Duadji, kita menemukan kemiripan dengan dua kasus sebelumnya. Dalam kasus ini, pembacaan terhadap Susno perlu dilakukan secara proporsional. Ia perlu dilihat sebagai “orang dalam” yang mencoba bicara dan membuka skandal yang ia ketahui secara persis di institusi tempat ia bekerja. Dalam posisinya sebagai orang nomor satu di bagian Reskrim yang berwenang menangani hampir semua jenis kejahatan di Indonesia seharusnya ia tahu banyak.

Tiga Kasus

Hampir semua orang yang mencermati kasus ini tentu mengetahui bahwa Susno Duadji melapor pada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada 18 Maret 2010 atau sekitar empat bulan setelah ia dicopot dari jabatan Kabareskrim. Satu bulan kemudian ia mendatangi Komisi III DPR RI (4 April 2010). Di berbagai media ia mengungkapkan secara terang benderang tiga kasus yang hendak dibongkarnya yaitu kasus dugaan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan Gayus HP Tambunan,dugaan korupsi PT Salmah Arwana Lestari (SAL), dan penggunaan anggaran di Mabes Polri dan Kepolisian Daerah se-Indonesia.

Tiga kasus yang tidak main-main dan disinyalir bisa menjerat sejumlah aktor inti di institusi tempat ia bekerja. Tapi sial, agaknya banyak pihak gerah dengan manuver yang dilakukan Susno hingga ia akhirnya ditetapkan sebagai tersangka di salah satu kasus yang hendak dibongkarnya (PT SAL) pada 11 Mei 2010. Tidak cukup sampai di sana, 10 Juni 2010 ia kembali ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus dana hibah 2008 saat ia menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka, ia langsung ditahan. Menjelang vonis dijatuhkan, ia bebas karena habis masa tahanan. Namun, tetap saja mujur belum menghampirinya. Hakim menjatuhkan vonis tiga tahun enam bulan, denda Rp200 juta, dan penggantian kerugian keuangan negara Rp4 miliar. Apa yang bisa dibaca dari fenomena tersebut? Sebagian pihak mengatakan, jika memang Susno terlibat dalam sebuah tindak pidana korupsi, ia tetap harus bertanggung jawab secara hukum.

Apalagi Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan jelas mengatakan: “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan.”

Argumen tersebut terkesan kuat dan rapi, apalagi kemudian Mahkamah Konstitusi menolak judicial review yang diajukan Susno dalam perkara Nomor: 42/PUU-VIII/2010.MK menguatkan keberadaan Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006,meskipun dalam pertimbangan hukumnya MK juga menegaskan pentingnya keberadaan saksi dalam sebuah pembuktian pidana dan karena itu perlindungan terhadap saksi harus dilakukan.

Sumpah Omerta

Sebelum menilai lebih jauh duduk perkara tersebut, kita agaknya perlu sedikit bertamasya ke Amerika pada 1963.Saat itu seorang mafia Italia-Amerika bernama Joseph Valachi memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kongres Amerika Serikat. Ia yang pertama kali melanggar sumpah para mafia yang sangat terkenal saat itu, Omerta, sebuah “sumpah diam” yang diyakini para mafia baik karena rasa takut ataupun kesetiaan terhadap kelompok.

Valachi menjelaskan secara rinci struktur internal mafia dan kejahatan terorganisasi yang dilakukan kelompoknya yang dipimpin oleh Vito Genovese. Ia bagian dari struktur mafia yang dibuka dan dijelaskannya dalam kesaksian saat itu. Pemerintahan Amerika melalui FBI dan Biro Permasyarakatan Federal pun memutuskan memberikan perlindungan ketat pada Valachi. Sejak saat itulah keyakinan bahwa perlindungan terhadap saksi yang juga menjadi pelaku atau bagian dari sebuah struktur kejahatan dinilai sangat penting.

Dalam kejahatan terorganisasi seperti narkotika dan korupsi, upaya untuk membongkar mafia kelas atas bahkan hampir tidak mungkin dilakukan tanpa peran “orang dalam”. Tak sampai satu dasawarsa, Undang-Undang Pengendalian Kejahatan Terorganisir diterbitkan 1970 dan memberikan wewenang pada Jaksa Agung AS untuk melindungi para whistleblower (LPSK, 2010).

Di sektor pajak, ada juga kisah menarik tentang peniup peluit. Seorang whistleblower dari Wall Street Banker yang membongkar penggelapan pajak justru mendapatkan USD1,1 juta sebagai reward atas partisipasinya membongkar skandal pajak sejumlah perusahaan yang diketahuinya secara persis. Internal Revenue Services (IRS) memberikan hadiah hingga 15% dari uang yang berhasil diselamatkan berkat jasa whistleblower.

Kita bisa dengan mudah membandingkan kenyataan yang terjadi pada 1963 di Amerika dan tax whistleblower di Wall Street Banker yang justru diapresiasi dengan hadiah yang tak sedikit. Di Indonesia, baik untuk kasus Susno ataupun Vincent, yang menjadi persoalan mungkin bukan hanya tidak adanya “terobosan”regulasi yang menjamin keamanan peniup peluit.

Terdapat ketidakadilan yang nyata saat menyaksikan seorang yang berupaya membongkar sebuah skandal besar justru dibungkam dengan menggunakan sarana negara dan kemudian dijatuhi pidana penjara. Sementara di saat yang sama,kasus inti yang hendak dibongkar mandek dan nyaris melindungi aktor utama kasus tersebut. Sementara itu, Presiden juga masih tetap berlindung di balik kata-kata manis, “Saya tidak akan mencampuri proses hukum.”

Untuk kasus Susno misalnya, mungkin benar Susno tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Akan tetapi, akan lebih tepat jika penegakan hukum kita lebih menekankan pada prioritas penanganan kasus yakni memproses terlebih dahulu sampai tuntas skandal yang hendak dibuka seorang whistleblower. Karena jika tidak demikian, saya yakin tidak akan pernah ada lagi orang yang mau “membunuh” dirinya sendiri dengan menjadi whistleblower.

FEBRI DIANSYAH
Koordinator Divisi Hukum dan
Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)


Kontributor Artikel & Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.

www.MestiMoco.com
Share:

Arsip Blog